Konflik dan kekerasan yang terjadi di
Kepulauan Maluku telah dimulai sejak lama dan baru diadukan sejak pertengahan
2008 dan meningkat di pertengahan 2009. Saat ini, untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan
Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit
diprediksikan, beberapa waktu tenang tapi kemudian kembali terjadi aksi
kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan
operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen
(ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan
dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah
membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat
barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai
jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar
suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat
8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan
pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai
korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya
dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena
ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan
saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung
dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan
ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat
ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak
jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan
selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konflik jalan
terus. Perkembangan situasi dan kondisi yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang
apa yang terjadi sehingga masyarakat mencari jawaban sendiri dan membuat
antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah
terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu
dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi
seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut
tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan
antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak beberapa waktu lalu sekarang tidak
lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh
anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara
mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam
keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku
sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah
baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat
penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses
pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan
masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada
banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang
dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih
dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media
yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa
Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio
SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
Kasus ini melanggar aspek HAM, dimana
disebutkan pada UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab II
Asas-asas Dasar pasal 6 ayat 1, tentang perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum. Jelas
sekali dalam konflik di Maluku bahwa perbedaan agama, etnis yang mengakibatkan
perpecahan terlambat di tangani oleh hukum, dan cenderung semakin melebar.
Kasus Mesuji di Sumatra Selatan.
Pengaduan
masyarakat dan video pembunuhan terkait konflik lahan yang beredar di media
televisi beberapa waktu
lalu mengalami kesimpangsiuran lokasi, waktu, dan kejadian. Pengaduan dan
sebagian video merupakan dua peristiwa yang terpisah.
Video
pembunuhan yang memperlihatkan pemenggalan kepala terjadi di Desa Sungai
Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan bukan dari
Mesuji, Provinsi Lampung.
Kedua lokasi
ini memang berbatasan dan hanya dipisahkan oleh sungai. Di dua lokasi berbeda
itu, warga memang sama-sama mengalami konflik dengan perusahaan kelapa sawit,
tetapi perusahaannya berbeda.
Pembunuhan
dengan memenggal kepala itu terjadi pada Kamis, 21 April 2011, di Desa Sungai
Sodong, Sumatera Selatan. Salah satu asisten kebun dipenggal oleh masyarakat
yang marah karena terbunuhnya dua warga desa.
Dalam
peristiwa itu tujuh orang tewas, terdiri dari dua warga desa, Syafei dan Macan,
yang masih belasan tahun, serta lima orang dari pihak PT Sumber Wangi Alam
(SWA).
Kejadian
diawali bentrokan warga dengan orang-orang yang disewa perusahaan perkebunan
kelapa sawit PT SWA. Bentrokan diawali penganiayaan serta pembunuhan terhadap
Syafei dan Macan di Blok 19 kebun PT SWA pada Kamis pagi. Mereka ditemukan
dengan luka-luka mengenaskan, termasuk telinga yang dipotong dan leher
tergorok.
Kasus
ini melanggar aspek HAM, yaitu Hak atas Kesejahteraan dimana disebutkan pada UU
RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab III tentang Hak Asasi
Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, bagian ketujuh, pasal 36 ayat 2 yang
berbunyi “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum. Disini jelas disebutkan bahwa kasus mesuji ini kini telah
melibatkan hukum yaitu polisi dan belum kunjung reda. Di lain hal ini juga telah
melanggar hak untuk hidup dan hak memperoleh keadilan, daapat dilihat pada
bagian pertama pasal 9 ayat 2 dan bagian keempat pasal 17.
Tragedi Sadis di Sampit
Banyak Versi
tentang latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng
begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak
yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles
Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga
Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Ada Versi lain
mengatakan, terjadinya
perang antar suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-Ekonomi. Versi berbeda juga
menceritakan, bahwa banyak sebab yang membuat
suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari
kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena
dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus
berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang
mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi
oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang
menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit
kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme
Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan
orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum.
Etnis madura
yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak
dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang).
Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang
kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah
satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara
mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang
dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat
Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha
kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak
semua suku Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita
atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya
“perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian versi lain ini adalah tidak
benar.
Ada yang
mengungkapkan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak
dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan
inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi
seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin
berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke
mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu siap
berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan
ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat
keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin
persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak
bernyawa tanpa kepala.
Saat terjadi
pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di
rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas
suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.
Kasus
ini melanggar aspek Hak memperoleh kesejahteraan dan hak hidup, karena jelas
tragedi sadis ini sangat merugian banyak pihak, bahkan menewaskan orang-orang
yang tak bersalah sekalipun, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Pertikaian seperti ini seharusnya bisa mendapat perhatian
khusus dari pemerintah daerah maupun pusat. Pada UU RI Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia,
bagian keenam Hak atas Rasa Aman, pasal 33 dan pasal 35 jelas disebutkan
bahwa setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghilangan paksa dan nyawa,serta
hidup damai, tentram,dan aman.
Tragedi
Trisakti 1998
Tragedi
Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas
Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri
Hertanto, Hafidin
Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan
dada.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis
finansial Asia.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran kegedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas
Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka
dihambat oleh blokade dari Polri-militer
datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para
mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat
keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik
dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun
aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan
dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di
lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon
Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202,Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka
dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat
orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun
pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian
disebabkan peluru tajam.
Kasus trisaksi pada intinya memang
mengenai demonstrasi menutut turunnya pemerintahan Soeharto. Namun berakhir
bentrok. Ini melanggar aspek HAM, UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, bagian keenam Hak atas Rasa Aman, pasal 33 dan pasal 35 mengenai
setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghilangan paksa dan
nyawa,serta hidup damai, tentram,dan aman. Disamping itu hak atas keadilan.
Tragedi
Buol Sulawesi Tengah
Tragedi Buol kembali terjadi dimana sebelumnya
pada bulan Ramadhan tahun 2010 terjadi insiden berdarah yang melibatkan
masyarakat melawan polisi terkait tewasnya Kasmir Timumun di dalam sel Mapolsek
Biau, Kabupaten Buol.
Dalam insiden itu, tujuh warga sipil
meninggal dunia karena terjangan peluru tajam aparat kepolisian. Sementara
sejumlah orang lainnya mengalami luka tembak.
Untuk kedua kalinya kasus ini terjadi
pada Rabu,17 Agustus 2011 sekitar pukul 11.00 WITA. Dari tengah kerumunan
ratusan orang terlihat asap hitap mengepul, sebuah motor anggota Polres Buol
dibakar massa karena pengendaranya baru saja menabrak pejalan kaki bernama
Muhidin (56), warga Desa Lakea, Kecamatan Lakea. Untuk mengatasi gejolak massa
yang lebih besar dan khawatir tragedi serupa terulang, Kepala Kepolisian Daerah
Sulawesi Tengah Brigjen Pol Dewa Parsana meminta maaf kepada keluarga korban
dan seluruh masyarakat Buol.
Dalam tragedi ini, terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 354 ayat (1) KUHP tentang
penganiayaan berat, subsidair pasal 351 ayat (2) KUHP, dan lebih subsidair
pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
Kasus ini melanggar Hak untuk Hidup,
Hak atas Kesejahteraan, dan Hak memperoleh keadilan, namun disisi lain hukum
telah berjalan sebagaimana adilnya, terdakwa yang bersalah, dimana adalah
anggota kepolisian telah mendapat sanksi pidana. Pada UU RI Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, bagian keenam Hak atas Rasa Aman, pasal 33 dan pasal
35 mengenai setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghilangan paksa
dan nyawa,serta hidup damai, tentram,dan aman. Disini jelas disebutkan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup yang baik.
sama-sama.. maaf baru sempat membalas..
BalasHapusbelakangan blog nya jarang di update nih.. :)
semoga artikelnya bisa membantu :)